Kelakuan licik para dokter yang mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kondisi pasien yang awam, dalam kondisi sakit pun seorang dokter yang dipercaya tega menipu pasiennya yang dalam kesulitan kesehatan...sadarlah dok...
===========================================link
===========================================link
Permainan Licik Oknum Dokter Hampir Merata di Indonesia
Ilustrasi dokter
SPIDER - Mantan medical
representative atau medrep bercerita mengenai pengalaman kerjanya mengawasi
dokter-dokter yang ‘dikontrak’ perusahaan farmasi. Ketika dokter sudah berada
di genggaman perusahaan farmasi, yang terjadi adalah kekonyolan. Pasien akan
menerima resep “tak masuk akal”.
Namun, pasien tak
berdaya karena ketidaktahuannya. Kerja sama atau KS antara perusahaan obat dan
dokter itu seperti ijon. Dokter menerima uang atau hadiah di depan yang harus
dikembalikan hingga empat kali lipatnya. Pengembalian dilakukan lewat
kewenangan dokter dalam menulis resep.
Apabila seorang dokter
telah diberi uang Rp 200 juta oleh sebuah perusahaan farmasi, maka ia harus
meresepkan obat dari perusahaan farmasi itu senilai Rp 800 juta.
Jangka waktunya tidak
terbatas, bisa dua bulan, tiga bulan, enam bulan, ataupun setahun.
Saat seorang dokter
menjalin kerja sama dengan perusahaan farmasi yang diwakili oleh medrep, dokter
itu akan diawasi. Medrep mengunci apotik-apotik rujukan sang dokter sehingga
perusahaan obat bisa memantau progres kerja sama.
Menurut seorang mantan
medrep, pola kerja sama perusahaan farmasi dan dokter ataupun rumah sakit,
sudah berlangsung lama di semua daerah di Indonesia.
Mantan medrep tersebut
menceritakan, sekitar tahun 2008, ia menjalin kerja sama dengan seorang dokter
spesilasi paru-paru di sebuah rumah sakit pemerintah di pinggiran Jakarta.
Kesepakatan kerja sama
yang disampaikan secara lisan, tanpa perjanjian tertulis, itu menyatakan bahwa
si dokter akan meresepkan antibiotik cair buatan perusahaan farmasi tertentu.
Si dokter kemudian
menerima uang Rp 20 juta untuk biaya berlibur ke Bali bersama keluarganya.
Sepulang dari Bali, si dokter jadi rajin meresepkan antibiotik cair kepada
pasiennya yang mayoritas adalah orang dewasa.
Dia ditarget
meresepkan antibiotik itu senilai Rp 100 juta. “Akhirnya, untuk pasien dewasa
pun dia kasih resep antibiotik cair. Kan jadi konyol, pasien dewasa dikasih
antibiotik cair,” ujar mantan medrep itu ketika ditemui di sebuah gerai
fastfood di Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten.
“Mestinya pasien
dewasa diberi antibiotik tablet. Cuma gara-gara terima uang akhirnya muncul
resep tak masuk akal,” tambahnya.
Dalam enam bulan
dokter itu sudah melunasi “kewajibannya” ke perusahaan farmasi. Tapi banyak
apoteker tertawa melihat resep si dokter. “Antibiotik cair kan untuk
anak-anak,” katanya.
Beberapa medrep maupun
mantan medrep yang menjadi narasumber yakin masyarakat banyak yang tak sadar
soal ini.
“Banyak orang jadi
resisten terhadap antibiotik golongan terendah gara-gara dokter mengadakan
kerja sama untuk meresepkan antibiotik golongan yang lebih tinggi,” kata salah
satu medrep.
Seorang medrep
mengaku, suatu ketika, anaknya demam dan ia pun membawanya ke sebuah klinik di
Jakarta Selatan. Dokter kemudian memberi resep antibiotik golongan dua.
Lantaran paham, medrep
tersebut menolak resep dokter. “Saya minta amoxicilin saja. Amoxicilin kan
termasuk antibiotik golongan rendah. Saya tahu kalau demam biasa, pakai
amoxicilin saja cukup,” ungkapnya.
“Tak perlu golongan
dua yang seperti yang sempat diresepkan dokter. Kasihan anak saya, nanti jadi
resisten. Lagipula antibiotik golongan dua itu jauh lebih mahal,” katanya lagi.
Ia juga buka kartu
mengenai profesinya sebagai medrep. “Dokter itu kemudian mengganti resepnya,”
katanya.
Dalam pembicaraan
singkat tersebut, si dokter mengaku punya kerja sama dengan sebuah perusahaan
obat yang memproduksi antibiotik golongan dua.
Pilihan amoxicilin
untuk mengatasi demam si anak tidak keliru. “Ternyata benar, dalam dua hari,
anak saya sembuh,” imbuh medrep tersebut.
Mengaku sebagai “orang
farmasi” memang jadi password bagi para medrep untuk tidak menjadi korban resep
tidak masuk akal.
“Kalau ada keluarga
yang sakit ataupun opname, sejak awal saya katakan kepada dokternya, ‘dok… saya
orang farmasi lho’. Kalau sudah gitu, pasien gak akan diberi resep yang
aneh-aneh,” ujar seorang mantan medrep.
(Sumber :Fimadani.com)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !