Kota susu Boyolali yang saat ini dalam masa pembangunan ditiap tempat khususnya dibarisan kota,ternyata banyak tersandung jejak Korupsi...Apa kata mereka yang menyidik kasus dikota susu Boyolali ini....???
============================link
Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan UNS Solo Tinggal di Boyolali
Jika penyimpangan anggaran Pemkab Boyolali menempati posisi ketiga se-Jawa Tengah, tetapi dalam konteks wilayah eks-Karesidenan Surakarta tentu berbeda. Mengingat, eks-Karesidenan Surakarta terdiri dari Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, dan Sragen, maka rangking tertinggi penyimpangan anggaran pemerintah daerah ada di Kabupaten Boyolali. Artinya, dapat bersama-sama kita simpulkan bahwa Kabupaten Boyolali adalah juara pertama atas penyimpangan anggaran jika pijakan kita Catatan Akhir Tahun 2013 dari Fitra.
Padahal, Bupati Boyolali senantiasa mengampanyekan bila kabupaten
Boyolali telah memperoleh Predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama
dua kali berturut dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Perolehan WTP
selama dua kali berturut untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) 2011 dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2012
Pemerintah Kabupaten Boyolali ini seakan ingin menegaskan bahwa
pemerintahan Bupati Seno Samodro tidak ada penyimpangannya.
Pertanyaannya, mengapa Kabupaten Boyolali masuk peringkat “juara”
pertama eks-Karesidenan Surakarta dalam penyimpangan anggaran daerah?
Pertama, Pemkab Boyolali tidak memiliki niatan untuk sesegera mungkin menindaklanjuti hasil audit negara setiap tahunnya. Pemerintahan Bupati Seno Samodro lupa, meskipun mendapatkan status WTP pasca- audit BPK, namun tetap ada temuan penyimpangan yang harus segera ditindaklanjuti oleh jajarannya. Jika tidak segera ditindaklanjuti, maka berakibat pada menumpuknya kasus-kasus penyimpangan anggaran di Kabupaten Boyolali. Seolah-olah, hasil audit hanya di anggap sebagai sampah setelah mendapatkan WTP selama dua kali berturut-turut.
Kedua, banyak kasus penyimpanan di Boyolali yang tidak segera ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Kepala daerah yang tersangkut kasus penyimpangan memang seringkali susah diungkap aparat penegak hukum karena menjadi bagian dari forum pimpinan daerah. Adanya rasa sungkan bagi penegak hukum ketika harus mengusut penyimpangan kepala daerah yang masih menjabat. Akibatnya, ada penumpukan kasus penyimpangan dan baru terungkap tatkala kepala daerah sudah tidak lagi berkuasa.
Ketiga, adanya indikasi korupsi berjemaah di Pemkab Boyolali. Terindikasi sebanyak 81 kasus serta penyimpangan total senilai Rp 36,78 miliar bukan tidak ada sebabnya. Akumulasi penyimpangan senilai Rp 36,78 miliar tidak mungkin berasal dari satu program, tetapi ada indikasi bersama-sama di semua lapisan atau secara berjemaah. Misalnya, ada indikasi penyimpangan pada proyek relokasi pembangunan kantor kabupaten Boyolali yang baru di Kemiri, Mojosongo.
Darurat Korupsi
Fakta yang terungkap media tahun 2013, pembangunan proyek relokasi kantor Pemkab Boyolali menuai kontroversi. Bara api indikasi “korupsi” pembangunan gedung pada relokasi kantor Pemkab Boyolali banyak mengandung misteri dibalik proses lelangnya. Ada kejanggalan pada “sandiwara” proses lelang proyek relokasi kantor Pemkab Boyolali yang dilaksanakan dalam tiga tahun terakhir ini dan kini mulai tercium aparat penegak hukum.
Skenario para kontraktor yang terlibat dalam lelang mega proyek relokasi kantor Pemkab Boyolali ini, diduga telah mengarah kepada praktik kolusi, korupsi dan nepotisme. Proses lelang pembangunan kantor Pemkab Boyolali yang baru, bisa diibaratkan sebuah ”sandiwara” lelang proyek relokasi. Rakyat Boyolali hanya bisa berdebar-debar karena praktik kong-kalingkong dalam proses lelang relokasi kantor Pemkab Boyolali sudah mencapai titik puncaknya, yakni darurat korupsi Boyolali.
Para kontraktor jujur pasti akan geleng kepala, karena budaya kong-kalingkong ini menyebabkan perbedaan tipis antara pagu anggarannya, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan para pemenang penawaran yang pautannya ada di bawah satu persen – bahkan nol koma persen. Dari hasil penetapan ini, sangat jelas siapa nanti yang akan “rajin” berurusan dengan pihak aparat penegak hukum. Minimal, mulai dari para kontraktornya, para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) hingga Bupati Boyolali.
Darurat korupsi Boyolali telah mencapai titik akut karena hampir selisih dari para penawar tender (bid rigging) yang terjadi pada saat lelang gedung relokasi kantor Pemkab Boyolali sangat vulgar dan sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Persekongkolan lelang gedung relokasi kantor Pemkab Boyolali terjadi antara para pelaku usaha dengan panitia lelang yang dilakukan sejak awal rencana pengadaan barang dan jasa. Inilah bukti darurat korupsi Boyolali yang mesti harus disikapi aparat penegak hukum.
Bahkan, modus operasinya dilakukan dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang hanya mengarahkan ke kontraktor tertentu. Akibatnya, skenario persekongkolan ini menghambat pelaku kontraktor lain yang jujur untuk ikut tender menjadi gagal. Pesan agar bersaing secara sehat yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ternyata tidak diindahkan kontraktor serta jajaran dari Bupati Boyolali. Darurat korupsi Boyolali telah mencapai titik kulminasi dan tinggal bagaimana aparat penegak hukum berani atau tidak menyikapinya.
Pesan 2014
Terciumnya berbagai modus operandi tindak penyimpangan yang ada di Boyolali tampaknya tidak membuat efek jera Bupati Boyolali beserta jajarannya. Muncul kesan angkuh, bahwa indikasi penyimpangan tahun 2013 ternyata aman-aman saja dan tidak ada aparat yang menjeratnya. Angin segar ini dianggap sebagai peluang baru untuk melakukan penyimpangan kembali di tahun 2014 ini.
Rakyat Boyolali harus sadar dan perlu lebih cermat untuk melihat gerak indikasi penyimpangan anggaran tahun 2014.
Sudah waktunya rakyat tidak lagi percaya penuh dengan wakilnya, yang ternyata hanya menjadi stempel kebijakan Bupati Boyolali. Rakyat Boyolali harus bergerak sendiri dan cermat dalam melihat segala bentuk penyimpangan yang terjadi berbagai SKPD Kabupaten Boyolali.
Andaikan melihat sedikit penyimpangan, maka kiranya harus segera dilaporkan secara resmi. Rakyat tidak perlu lagi berpikir apakah laporan nantinya akan di tindaklanjuti atau tidak oleh aparat hukum, tetapi justru lebih pada peran aktif untuk melaporkan secara terus menerus. Kiranya, rakyat tidak boleh bosan-bosan untuk terus melaporkan segala tindak penyimpangan yang terjadi pada anggaran kabupaten Boyolali 2014 ini.
Selain itu, rakyat harus mendorong agar indikasi penyimpangan tahun sebelumnya cepat terungkap. Rakyat harus pro aktif supaya aparat penegak hukum mau dan cepat bergerak bertindak mengusut indikasi penyimpangan di Boyolali. Berangkat dari Catatan Akhir Tahun 2013 Fitra yang menempatkan Boyolali Juara Ketiga se-Jawa Tengah atau juara pertama wilayah eks-Karesidenan Surakarta dalam hal penyimpangan anggaran, menjadi modal kuat rakyat untuk segera mengungkapnya. Beranikah Anda?
============================link
Boyolali Juara Korupsi
Oleh : BramastiaMahasiswa S3 Ilmu Pendidikan UNS Solo Tinggal di Boyolali
Sudah waktunya rakyat tidak lagi percaya penuh dengan wakilnya, yang ternyata hanya menjadi stempel kebijakan Bupati Boyolali.Catatan Akhir Tahun 2013 dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis penyimpangan anggaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kabupaten Boyolali menempati posisi ketiga se-Jawa Tengah. Mendengar kabar penyimpangan ini, rakyat banyak yang tercengang, karena dalam rilis Fitra ternyata menempatkan Kabupaten Boyolali duduk di peringkat tiga dengan jumlah 81 kasus dan total penyimpangan senilai Rp 36,78 miliar. (Joglosemar, 30/12/2013)
Jika penyimpangan anggaran Pemkab Boyolali menempati posisi ketiga se-Jawa Tengah, tetapi dalam konteks wilayah eks-Karesidenan Surakarta tentu berbeda. Mengingat, eks-Karesidenan Surakarta terdiri dari Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, dan Sragen, maka rangking tertinggi penyimpangan anggaran pemerintah daerah ada di Kabupaten Boyolali. Artinya, dapat bersama-sama kita simpulkan bahwa Kabupaten Boyolali adalah juara pertama atas penyimpangan anggaran jika pijakan kita Catatan Akhir Tahun 2013 dari Fitra.
Pertama, Pemkab Boyolali tidak memiliki niatan untuk sesegera mungkin menindaklanjuti hasil audit negara setiap tahunnya. Pemerintahan Bupati Seno Samodro lupa, meskipun mendapatkan status WTP pasca- audit BPK, namun tetap ada temuan penyimpangan yang harus segera ditindaklanjuti oleh jajarannya. Jika tidak segera ditindaklanjuti, maka berakibat pada menumpuknya kasus-kasus penyimpangan anggaran di Kabupaten Boyolali. Seolah-olah, hasil audit hanya di anggap sebagai sampah setelah mendapatkan WTP selama dua kali berturut-turut.
Kedua, banyak kasus penyimpanan di Boyolali yang tidak segera ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Kepala daerah yang tersangkut kasus penyimpangan memang seringkali susah diungkap aparat penegak hukum karena menjadi bagian dari forum pimpinan daerah. Adanya rasa sungkan bagi penegak hukum ketika harus mengusut penyimpangan kepala daerah yang masih menjabat. Akibatnya, ada penumpukan kasus penyimpangan dan baru terungkap tatkala kepala daerah sudah tidak lagi berkuasa.
Ketiga, adanya indikasi korupsi berjemaah di Pemkab Boyolali. Terindikasi sebanyak 81 kasus serta penyimpangan total senilai Rp 36,78 miliar bukan tidak ada sebabnya. Akumulasi penyimpangan senilai Rp 36,78 miliar tidak mungkin berasal dari satu program, tetapi ada indikasi bersama-sama di semua lapisan atau secara berjemaah. Misalnya, ada indikasi penyimpangan pada proyek relokasi pembangunan kantor kabupaten Boyolali yang baru di Kemiri, Mojosongo.
Darurat Korupsi
Fakta yang terungkap media tahun 2013, pembangunan proyek relokasi kantor Pemkab Boyolali menuai kontroversi. Bara api indikasi “korupsi” pembangunan gedung pada relokasi kantor Pemkab Boyolali banyak mengandung misteri dibalik proses lelangnya. Ada kejanggalan pada “sandiwara” proses lelang proyek relokasi kantor Pemkab Boyolali yang dilaksanakan dalam tiga tahun terakhir ini dan kini mulai tercium aparat penegak hukum.
Skenario para kontraktor yang terlibat dalam lelang mega proyek relokasi kantor Pemkab Boyolali ini, diduga telah mengarah kepada praktik kolusi, korupsi dan nepotisme. Proses lelang pembangunan kantor Pemkab Boyolali yang baru, bisa diibaratkan sebuah ”sandiwara” lelang proyek relokasi. Rakyat Boyolali hanya bisa berdebar-debar karena praktik kong-kalingkong dalam proses lelang relokasi kantor Pemkab Boyolali sudah mencapai titik puncaknya, yakni darurat korupsi Boyolali.
Para kontraktor jujur pasti akan geleng kepala, karena budaya kong-kalingkong ini menyebabkan perbedaan tipis antara pagu anggarannya, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan para pemenang penawaran yang pautannya ada di bawah satu persen – bahkan nol koma persen. Dari hasil penetapan ini, sangat jelas siapa nanti yang akan “rajin” berurusan dengan pihak aparat penegak hukum. Minimal, mulai dari para kontraktornya, para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) hingga Bupati Boyolali.
Darurat korupsi Boyolali telah mencapai titik akut karena hampir selisih dari para penawar tender (bid rigging) yang terjadi pada saat lelang gedung relokasi kantor Pemkab Boyolali sangat vulgar dan sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Persekongkolan lelang gedung relokasi kantor Pemkab Boyolali terjadi antara para pelaku usaha dengan panitia lelang yang dilakukan sejak awal rencana pengadaan barang dan jasa. Inilah bukti darurat korupsi Boyolali yang mesti harus disikapi aparat penegak hukum.
Bahkan, modus operasinya dilakukan dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang hanya mengarahkan ke kontraktor tertentu. Akibatnya, skenario persekongkolan ini menghambat pelaku kontraktor lain yang jujur untuk ikut tender menjadi gagal. Pesan agar bersaing secara sehat yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ternyata tidak diindahkan kontraktor serta jajaran dari Bupati Boyolali. Darurat korupsi Boyolali telah mencapai titik kulminasi dan tinggal bagaimana aparat penegak hukum berani atau tidak menyikapinya.
Pesan 2014
Terciumnya berbagai modus operandi tindak penyimpangan yang ada di Boyolali tampaknya tidak membuat efek jera Bupati Boyolali beserta jajarannya. Muncul kesan angkuh, bahwa indikasi penyimpangan tahun 2013 ternyata aman-aman saja dan tidak ada aparat yang menjeratnya. Angin segar ini dianggap sebagai peluang baru untuk melakukan penyimpangan kembali di tahun 2014 ini.
Rakyat Boyolali harus sadar dan perlu lebih cermat untuk melihat gerak indikasi penyimpangan anggaran tahun 2014.
Sudah waktunya rakyat tidak lagi percaya penuh dengan wakilnya, yang ternyata hanya menjadi stempel kebijakan Bupati Boyolali. Rakyat Boyolali harus bergerak sendiri dan cermat dalam melihat segala bentuk penyimpangan yang terjadi berbagai SKPD Kabupaten Boyolali.
Andaikan melihat sedikit penyimpangan, maka kiranya harus segera dilaporkan secara resmi. Rakyat tidak perlu lagi berpikir apakah laporan nantinya akan di tindaklanjuti atau tidak oleh aparat hukum, tetapi justru lebih pada peran aktif untuk melaporkan secara terus menerus. Kiranya, rakyat tidak boleh bosan-bosan untuk terus melaporkan segala tindak penyimpangan yang terjadi pada anggaran kabupaten Boyolali 2014 ini.
Selain itu, rakyat harus mendorong agar indikasi penyimpangan tahun sebelumnya cepat terungkap. Rakyat harus pro aktif supaya aparat penegak hukum mau dan cepat bergerak bertindak mengusut indikasi penyimpangan di Boyolali. Berangkat dari Catatan Akhir Tahun 2013 Fitra yang menempatkan Boyolali Juara Ketiga se-Jawa Tengah atau juara pertama wilayah eks-Karesidenan Surakarta dalam hal penyimpangan anggaran, menjadi modal kuat rakyat untuk segera mengungkapnya. Beranikah Anda?
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !