Lingkaran Syetan, Sengketa Konsumen VS Leasing
Salah satu keluhan
konsumen terhadap perilaku debt colektor (DC), seriang merampas sepeda
motor atau mobil yang sedang digunakan di jalan raya. Para DC biasanya
bergerombol di pertigaan atau di
jalan yang bisa leluasa mengawasi plat nomor kendaraan yang melintas
sambil mencocokkan dengan daftar catatan nomor polisi di tangannya.
Sering terjadi, ibu-ibu yang mau belanja atau anak
sekolah dan mahasiswa mau ke kampus, sepeda motornya di rampas hingga
mereka harus pulang naik angkot.
Tak jarang pula, terjadi salah perampasan. Sepeda
motor yang dibawa saat dikendarai, ternyata sudah lunas hingga
pemiliknya mengadukan sikap oknum DC kepada polisi dan berujung penjara.
Salah satu alasan DC dan leasing, perampasan karena
konsumen leasing dianggap tidak memiliki itikad baik menyelsaikan
kreditnya. Misalnya sudah 5 bulan nunggak cicilan kredit atau lebih.
Masalah juga terjadi, ketika konsumen awal menjual
belikan barang kreditan yang belum lunas tidak sepengatahuan leasing.
Sepeada motor atau mobil berpindah ke beberapa tangan hingga tidak
diketahui lagi siapa pemiliknya. Muncul persoalan, jika cicilan tidak
lancar, sementara kendaraan sudah tidak di tangan pembeli pertama. Dari
pada rugi , pihak leasing menempuh jalan terakhir, mencari di jalan
raya. Secara aturan perlindungan konsumen itu tidak dibenarkan, bahkan
polisi menyebutnya sebagai tidank pidana.
Para DC yang merampas sepeda bermasalah di jalan
raya, biasanya DC eksternal, merupaan DC bayaran kepada pihak tertentu,
baik ormas, LSM atau perusahaan resmi DC. Konon, jika DC ekternal
berhasil mendapat satu unit sepeda motor bermasalah, harganya mencapai
Rp1 juta.
Jika diurai, masalah konsumen VS leasing bibitnya
sudah ditaman sejak seorang sales leasing mencari calon nasabah. Dulu,
sebelum ada aturan Bank Indonesia -DP sepeda motor minimal 20%- kredit
sepeda motor bisa hanya dengan DP Rp500.000 atau bahkan Rp250.000.
DP bisa lebih murah dari pada cicilan bulanan.
Giliran mencicil, konsumen tidak bisa membayar. Pertanyaannya, mengapa
si sales serta survreyor memaksakan ACC kredit motor tersebut, padahal
calon konsumen tidak layak mendapat kredit?
Jawabannya brangkali karena target omzet. Baik
sales, survreyor masing-masing dibebani target omzet baik bulanan,
semesteran atau tahunan. Jika tidak, bukan saja keuntungan yang minim,
tetapi dia bisa dipecat dari pekerjaannya. Demikian juga perusahaan
tempat sales dan survreyor bekerja, mereka memiliki ditarget harus
tumbuh sekian persen per tahun.
Masalah lain pada nasabah leasing. Banyak yang
memaksakan diri membeli kendaraan hanya karena tergiur DP murah
sementara cicilan besar. Giliran tidak bisa mencicil bulanan, ia juga
ngotot mempertahankan barang kreditannya.
Aturannya, konsumen harus mengembalikan barang
kreditan jika merasa tidak sanggup lagi meneruskan cicilan. Ini
sebaliknya, jangankan mengambilan barang, ditagih DC internal yang
bisanya masih baik-baik, selalu menghindar atau bersikap komprontatif.
Jika DC internal tidak mempan, maka DC ekternal beraksi hingga
terjadilah perampasan di jalan raya.
Celakanya lagi, banyak nasabah atau konsumen tidak
tahu menahu isi MoU kredit yang mereka tandatangani. Karena sangat
bahagia mendapat sepeda motor baru, ia main tandatangan, tak peduli di
isi dalamnya.
Para sales juga terkesan tidak memberi penjelasan,
minta tanda tangan main todong hingga konsumen seoalh tidak diberi
kesempatan untuk membaca MoU yang jika terjadi suatu masalah,
point-point dalam MoU tersebut akan menjadi rujukan penyelesaian.
Sebagai konsumen, mestinya memahami hak dan
kewajiban beserta konsekuansinya. Demikian juga bagi penjual, jangan
karena target usaha, yang penting barang terjual, masalah diselesaikan
kemudian.
Beruntung kini sudah ada aturan BI yang mewajibkan
DP pembelian sepeda motor minimal Rp20%. Maksud aturan tersebut, supaya
konsumen yang benar-benar mampu yang mendapat kredit sepeda motor agar
tidak memunculkan masalah kemudian.
Selain asfek normative di atas, rasanya sangat
penting disadari bagi konsumen, bagaimanapun utang itu berat bahkan
menurut keterangan tidak selesai hingga yang berhutang mati. Perlu
disadari juga kita jangan terlalu memaksakan diri, demi membeli gaya
hidup rela menyiksa diri dengan setumpuk utang. (*) link
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !