serambiMINANG.com
– Saya seorang Polisi. Pekerjaan saya adalah menjaga keamanan,
mengawasi lalu lintas, dan membantu orang-orang yang membutuhkan.
Semula pekerjaan saya sangat menyenangkan.
Saya
menjalani hidup dengan nyaman. Saya bekerja dengan sungguh-sungguh dan
ikhlas. Akan tetapi, setelah itu, saya mengalami masa yang sangat berat.
Saya diombang-ambing oleh kebingungan karena banyaknya waktu luang dan
minimnya pengetahuan saya. Kemudian saya mulai merasa bosan dan tidak
menemukan orang yang bisa membantu saya dalam urusan agama saya. Yang
terjadi justru sebaliknya.
Saya bosan terus-menerus melihat
kecelakaan dan orang-orang yang ditimpa musibah. Tetapi, ada satu hari
istimewa. Saat kami bekerja, saya bersama seorang kawan berhenti di tepi
jalan sambil berbincang kesana kemari. Tiba-tiba kami mendengar suara
tabrakan yang keras. Kami langsung memutar pandangan mata kami, dan
ternyata sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang datang dari
arah berlawanan.
Kami bergegas menuju lokasi kecelakaan untuk
menyelamatkan para korban. Sebuah kecelakaan yang nyaris tidak bisa
digambarkan dengan kata-kata. Dua orang di dalam mobil itu dalam kondisi
kritis.
Kami mengeluarkan mereka dari mobil dan meletakkan
mereka dalam posisi membujur. Lalu kami bergegas mengeluarkan orang yang
ada di mobil kedua. Ternyata dia sudah meninggal dunia.
Kami kembali kepada dua orang tersebut, ternyata mereka dalam kondisi sekarat. Kawan saya langsung menuntunnya membaca syahadat.
Ucapkanlah, “Laa ilaha illallah. Laa ilaha illallah.”
Akan tetapi lidah mereka justru melantunkan nyanyian dengan keras.
Situasi itu membuat saya takut, sementara kawan saya justru sebaliknya.
Dia mengetahui hal ihwal kematian. Dia kembali menuntun mereka membaca
syahadat. Sementara saya berdiri termangu, tidak bergerak, diam seribu
bahasa, dan mata saya melotot. Selama hidup, saya belum pernah melihat
situasi seperti itu. Bahkan saya belum pernah melihat orang meninggal
dalam kondisi seperti itu.
Kawan saya kembali mengulang-ulang
kalimat syahadat kepada mereka. Tetapi mereka terus bernyanyi. Tidak ada
gunanya sama sekali. Suara nyanyian itu mulai reda sedikit demi
sedikit. Yang satu diam dan diikuti yang kedua. Tidak ada gerak sama
sekali. Mereka sudah meninggal dunia.
Kami membawa mereka ke mobil.
Sementara kawan saya itu menunduk dan diam seribu bahasa. Kami menempuh
perjalanan dengan diam membisu.
Keheningan itu lalu dipecahkan
oleh suara kawanku yang bercerita kepadaku tentang hal-ihwal kematian
dan su’ul khatimah (penutup yang buruk).
Hidup manusia itu ditutup dengan kebaikan atau keburukan.
DAN PENUTUP INI MERUPAKAN PETUNJUK BAGI APA YANG PERNAH DIKERJAKAN OLEH MANUSIA SELAMA HIDUP DI DUNIA SECARA UMUM.
Dia
menyampaikan banyak kisah yang ditulis di dalam buku-buku islam dan
bagaimana hidup seseorang ditutup dengan apa yang biasa dilakukannya
menurut keadaan lahir dan batinnya.
Kami menempuh perjalanan ke
rumah sakit dengan perbincangan tentang kematian dan orang-orang yang
mati. Dan gambarannya menjadi lengkap ketika kami ingat bahwa kami
mengangkut jenazah di dekat kami. Saya menjadi takut akan kematian.
Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kejadian itu. Hari itu juga saya mengerjakan shalat dengan khusyu’.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saya pun melupakan momentum tersebut secara bertahap.
Saya
mulai kembali lagi kepada kebiasaan saya semula. Seolah-olah saya tidak
pernah menyaksikan dua orang laki-laki itu dan apa yang telah mereka
alami. Tetapi saya benar-benar menjadi tidak suka pada nyanyian dan
tidak berminat lagi seperti sebelumnya. Barangkali hal itu terkait
dengan pengalaman saya saat mendengarkan nyanyian dari dua orang
tersebut ketika mereka sekarat.
Anehnya, lebih dari setahun
kemudian ada kecelakaan yang sangat menakjubkan. Ada seseorang yang
mengemudikan mobilnya dengan kecepatan biasa. Tiba-tiba mobil itu mogok
di salah satu terowongan yang mengarah ke kota. Orang itu pun turun dari
mobilnya untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada salah satu rodanya.
Dan
ketika ia berdiri di belakang mobilnya untuk menurunkan roda cadangan,
datanglah sebuah mobil dengan kecepatan tinggi dan menabraknya dari
belakang. Dia langsung jatuh dengan luka-luka yang sangat parah. Saya
datang bersama kawan yang lain, bukan kawan saya yang pertama.
Kami membawanya di dalam mobil kami sambil menghubungi rumah sakit agar bersiap-siap menyambut kedatangannya.
Ia
masih muda usia dan religius. Hal itu terlihat dari penampilannya.
Ketika kami membawanya, kami mendengarnya bergumam. Namun karena kami
buru-buru saat membawanya, maka kami tidak bisa membedakan dengan jelas
apa yang dia ucapkan.
Akan tetapi, ketika kami meletakkannya di
mobil dan berjalan, kami mendengar suaranya dengan jelas; dia membaca
Al-Qur’an dengan suara yang merdu.
Subhanallah!
Anda
jangan mengatakan bahwa pemuda ini berlumuran darah dan tulang-tulangnya
patah, tetapi tampaknya dia sudah diambang kematian, namun dia terus
membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu.
Selama hidup, saya
belum pernah mendengar bacaan semerdu itu. Saya sempat berkata di dalam
hati bahwa saya akan membimbingnya membaca syahadat seperti yang
dilakukan kawan saya dulu. Apalagi saya merasa sudah punya pengalaman
sebelumnya. Saya dan kawan saya mendengarkan suara yang merdu itu dengan
seksama. Saya merasakan tubuh saya mulai gemetar dan juga tulang-tulang
rusuk saya. Tiba-tiba suara itu terdiam. Saya menoleh ke belakang,
ternyata dia mengangkat jari telunjuknya sambil membaca tasyahud
(Syahadat), kemudian dia menundukkan kepalanya.
Saya segera
melompat ke belakang. Saya pegang tangannya, dan ternyata dia sudah
meninggal dunia. Saya memandanginya cukup lama. Setitik airmata jatuh,
tapi saya menyembunyikannya dari kawan saya. Saya menoleh ke arahnya dan
saya memberitahunya bahwa orang itu sudah meninggal dunia. Kawan saya
langsung menangis, sedangkan saya sesenggukan dan airmata saya tidak
berhenti mengalir. Pemandangan kami di dalam mobil itu menjadi sangat
menyentuh.
Saat kami tiba di rumah sakit, kami menceritakan kisah
orang itu kepada semua orang yang kami jumpai. Banyak yang tersentuh
dengan peristiwa kematiannya dan airmata mereka bercucuran.
Ada
salah satu dari mereka, yang setelah mendengar cerita kami langsung
pergi mencium keningnya. Semua orang bersikeras untuk tidak pergi dari
tempat itu sehingga mereka mengetahui kapan jenazahnya akan dishalati
agar mereka bisa ikut menshalatinya.
Keesokan harinya masjid itu
penuh sesak oleh jama’ah yang ingin menshalatinya. Saya menshalatinya
bersama orang-orang Islam lainnya.
Setelah itu, kami membawanya
ke makam. Kami memasukannya ke dalam liang kubur yang sempit dan mereka
menghadapkan wajahnya ke arah kiblat.
Bismillahi wa’ala millati rasulillah. Kami mulai menguruknya dengan tanah.
Doakanlah agar saudaramu diberi keteguhan, karena dia sedang ditanya.
Dia menyambut hari-hari akhirat yang pertama, sementara saya seakan-akan menyambut hari-hari dunia yang pertama.
Saya bertaubat dari apa yang pernah saya perbuat.
Mudah-mudahan Allah berkenan memaafkan dosa-dosa saya di masa lalu,
meneguhkan hati saya selalu taat kepadaNya, menutup hidup saya dalam
kebaikan (khusnul khatimah) dan menjadikan kuburan saya dan kuburan
setiap muslim sebagai bagian dari taman surga.
sumber : Buku Akhirnya Mereka Bertaubat (terjemahan kitab az-Zaman Al-Qadim penulis Abdul Malik bin Muhammad Al-Qasim)