Kisah cerita kesuksesan mereka sebagai Motivasi..
Inspirasi Rencana kedepan...
Peraih Penghargaan CNN Heroes 2009 dan Inspirasi untuk CSR
Sungguh
membanggakan melihat rekaman acara CNN Heroes 2009 yang diselenggarakan
di Kodak Theatre akhir November lalu bertepatan dengan perayaan
Thanksgiving di America. Budi Soehardi terpilih sebagai salah satu dari
sepuluh penerima award.
Saya
merinding saat melihat Budi Soehardi from Indonesia menerima award dari
Kate Hudson (Aktris International yang juga aktif di Wild Aid), yang
sebelumnya membacakan narasi tentang Budi Soehardi. Untuk yang belum
melihat bisa klik ke
http://www.youtube.com/watch?v=8piacipZ5wU.
Lebih
terharu lagi saat mendengar Budi menjelaskan, “Heroes sebenarnya adalah
istri dan 3 anak saya, mereka mengorbankan liburan mereka selama ini,
walau sebenarnya bisa travel dengan fasilitas first class yang saya
dapatkan dari fasilitas jabatan sebagai pilot. Tapi mereka memilih
budget liburan dipakai untuk membantu Roslin Oprhanage”. Betul juga ya,
kalau keluarga Budi tidak setuju toh biasanya ayah tidak bisa
memaksakan kehendak. Rumah yatim piatu ini bisa besar karena support
dari semua anggota keluarga.
Kala
itu, Budi yang seorang pilot maskapai penerbangan Singapore Airlines
itu hendak merencanakan liburan keliling dunia bersama keluarga.
”Sebagai pilot memang saya berhak mendapat cuti dan liburan keliling
dunia dengan fasilitas first class,” ujar Budi mengenang. Ketika sedang
makan malam, matanya tertuju kepada sebuah tayangan di televisi. Ia pun
tertegun manakala melihat tayangan penderitaan anak-anak korban
kerusuhan pasca jajak pendapat Timor Timur pada 1999 lalu. Hatinya
menangis dan menjerit ketika melihat anak-anak itu makan seporsi mie
instan yang dibagi berdelapan. Ia dan istrinya kemudian saling pandang.
Mereka kemudian memutuskan membatalkan acara liburan keliling dunia.
Budi dan istrinya, Peggy kemudian bahu membahu mengumpulkan bantuan
untuk para pengungsi itu. Upaya Budi dan Istrinya ternyata mendapat
sambutan hangat dari berbagai kalangan terutama teman-temannya. Setelah
menyalurkan bantuan itu, Budi yang tinggal di Singapura itu kemudian
membuat rumah panti asuhan di Kupang, Nusa Tenggara Timur bagi korban
kerusuhan pasca jajak pendapat Timor Timur. Akibat upaya Budi dan istri
yang tak kenal lelah itu tahun 2009 lalu ia mendapat penghargaan CNN
HEROE dari stasiun televisi berita CNN.
Berawal
dari tahun 1999, saat mereka sekeluarga yang tinggal di Singapore
menonton berita soal East Timor. Awalnya hanya ingin melakukan hal yang
berbeda untuk liburan kali itu. Sebernarnya setelah kesana memberikan
sumbangan, pakaian dan makanan mereka bisa saja pulang dan berkata
“We’ve done enough in our capacity” Namun Budi sekeluarga akhirnya
tergerak untuk membangun rumah yatim piatu bernama Roslin Orphanage.
Yang
menarik disini mereka tidak menamakannya Soehardi Orphanage, tapi
Roslin Orphanage yang diambil dari sepasang yatim piatu pertama yang
mereka Bantu saat itu. Saya jadi ingat dengan Taman Baca dan Poligigi
gratis di Batu, Jawa Timur yang juga dinamakan Amin bukan dengan nama
pendirinya.
Sejak
tahun 1999 itulah, budget liburan mereka selalu dipakai untuk rumah
yatim piatu yang mereka miliki di East Timor hingga sekarang. Jadi
mereka practically selalu liburan ke East Timor, walau punya privileged
untuk travel around the world karena merupakan anak seorang Pilot di
Singapore Airline.
Mungkin
kita memang harus merasakan dulu nikmatnya berbuat baik dan akhirnya
ketagihan. Saya sendiri pernah merasakan nikmatnya melihat buah
kebaikan kita berhasil, walau masih sangat amat jauh kalau dibandingkan
dengan apa yang dilakukan Budi Soehardi sekeluarga.
Dulu
jaman saya fotografer, saya sering cetak foto di Rapico Melawai.
Disana saya sering bertemu dengan seorang penjual Koran dan majalah
bernama Nardi. Ada banyak penjual majalah yang berkeliaran di kawasan
melawai, namun saya selalu beli dan sesekali memberi uang kepada Nardi.
Kenapa? Karena Nardi selalu belajar sambil berjualan majalah dan Koran.
Jadi pagi hingga siang Nardi sekolah, sore dan malam berjualan. Dia
punya semanagt untuk maju yang luar biasa.
Sampai
suatu ketika saya bekerja di Hard Rock Café dan melihat ada peluang
untuk Nardi hanya kerja part time 4 jam di cleaning service namun bisa
mendapatkan uang yang jauh lebih besar daripada menjual Koran dan
majalah. Jadi selain mendapat uang yang lebih besar, Nardi punya waktu
lebih banyak untuk belajar tentunya.
Setelah
itu saya sudah lupa dengan kisah Nardi ini. Hingga beberapa bulan
lalu, saya mendapat message di wall Facebook saya. “Halo ini Nardi
tukang majalah yang dulu… senang sekali bisa menemukan Yoris di FB,
sekarang saya sudah jadi arsitek… saya lulus S1”
Wow,
perasaaan senang yang tiada taranya membaca seorang Nardi sudah lulus
sarjana. Bayangkan seorang tukang penjual Koran dan majalah, bukan saja
survive untuk hidup namun bisa menjadi seorang sarjana.
Feeling
rewarding adalah sebuah perasaan yang tidak bisa dinilai dengan uang.
Saya yakin setiap orang bisa menjadi Hero dengan kapasitas yang mereka
miliki masing-masing. Lalu mungkin ada yang lantas berguman, “Yoris kan
sudah sukses jadi bisa charity, Budi Soehardi kan Pilot sehingga bukan
dana lebih untuk charity”. Namun saya tekankan disini, charity bukan
berdasarkan berapa besar yang kita berikan, namun seberapa ikhlas kita
lakukan.
Budi
Soehardi sekeluarga hanya membantu 47 orang orphanage di East Timor,
tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan
besar di Indonesia. Namun saya merinding dan terharu, karena mereka
mengorbankan liburan mereka sekeluarga untuk kepentingan yatim piatu
yang jumlah makin berkembang setiap tahunnya. Jadi lakukan sesuai
kemampuan kita namun punya positive impact untuk penerimanya.
Malah
saya mendapat inspirasi baru dari kisah Budi Soehardi, dibanding
kebanyakan CSR yang saya tahu, kita terbiasa hanya memberikan charity
kepada yang kurang mampu. Sementara apa yang dilakukan Roslin Orphanage
adalah memberi rumah dan sawah untuk anak-anak ini. Hasil panen sawah
digunakan untuk makan dan lebihnya bisa dijual untuk hasilnya nanti
dipakai untuk kebutuhan yang lain.
Saya
mengajak perusahaan-perusahaan untuk sedikit lebih kreatif dalam
mengeluarkan budget CSR mereka. Dalam berbagai penjurian yang saya
hadiri, banyak perusahaan yang memaparkan program CSR mereka, yang kalau
dicermati lagi sifatnya baru sekedar charity. Harus bedakan charity
dengan CSR, dan upayakan supaya kita memberi mereka ‘pancing’ instead of
hanya memberikan ‘ikan’ karena dengan pancing dan ikan, lama-lama
mereka bisa mandiri dan tidak memerlukan ‘ikan’ lagi dan kita bisa
menolong orang lainnya lagi. Begitulah terus berkesinambungan seperti
kisah Budi Soehardi…
Belajar Goblok dari Om Bob Sadino
Siapa
yang tak kenal Bob Sadino? Ia enterpreneur sejati. Gayanya nyentrik,
pola pikirnya unik dan cenderung terbalik. Keluar dari pakem teori dan
buku teks ekonomi. Tapi, bisnisnya sukses. Pengusaha kawakan dengan ciri
khasnya celana pendek dan kemeja itu, datang ke Batam berbagi
pengalaman dan belajar goblok dengan pengusaha muda Batam. Apa
maksudnya?
PEBISNIS
yang biasa baca buku marketing, manajemen, dan makan sekolahan, dibikin
bingung Bob Sadino, pengusaha yang terkenal dengan Kem Chicks-nya ini.
’’Hidup saya tanpa rencana dan tanpa target. Buku-buku di sekolah sudah
meracuni pikiran Anda. Padahal, informasi itu sudah basi dan jadi
sampah. Sekolah menghasilkan orang untuk bekerja, tapi bukan memberi
peluang kerja bagi orang lain,” katanya. Nah, bingung kan?
Lelaki
yang sudah berbisnis selama 36 tahun dan biasa disapa Om Bob ini
bercerita, ia berani keluar dari kemapanan bekerja di Jakarta Lyod, jadi
pengangguran, jadi kuli bangunan dan supir taksi. Ia lalu berkirim
surat ke teman-temannya di Belanda, agar dikirimi ayam petelur. Saat
itu, orang tidak biasa mengkonsumsi telur. Jadilah ia peternak ayam
broiler dan menjual telur ayam. ’’Sayalah orang pertama yang mengenalkan
telur kepada bangsa ini,” katanya.
Namun, jalan hidup Bob tidak semudah membalik telapak tangan. Ia menjual
telur ke tetangga. Telurnya tidak laku karena warga Kemang tak biasa
makan telur yang besar-besar itu, tapi telur ayam kampung. Beruntung,
beberapa bule menyukainya. Permintaan pun bertambah. Tidak hanya telur,
merica, garam dan belakangan berkembang ke bisnis daging olahan seperti
sosis.
Bob
Sadino yang pertama kali mengenalkan menanam sayuran tanpa tanah alias
hidroponik. Padahal, saat itu tidak pasarnya. Tapi, kegigihan seorang
Bob Sadino, ia menciptakan pasarnya. Beberapa tahun kemudian, ia malah
mengekspor terung ke Jepang. Bob mengaku, ia tidak pernah berencana mau
jadi apa. ’’Rencananya hanya buat orang pinter, saya bersyukur saya
goblok. Kalau saya pintar, saya akan seperti Anda,” katanya, disambut
tawa peserta seminar di Hotel Godway, Rabu (16/5) malam.
Kalau
pengusaha atau orang dagang cari untung, Bob Sadino mengaku mencari
rugi. Lantaran goblok, ia tidak tidak hitung-hitungan dan membebani
dirinya macam-macam. ’’Biasanya orang dagang cari untung dan rugi
peluangnya sama saja. Jadi, kalau cari rugi, terus kalau untung waduh,
bahagia banget,” ujarnya.
’’Silakan
cari kegagalan, cari kendala Anda. Saya mengalami segunung kegagalan,
kendala dan keringat dingin dan air mata darah. Tapi, saya belajar dari
kegagalan dan mencari jalan keluarnya. Kegagalan adalah anugrah. Lalu,
apa di balik kegagalan. Sukses adalah titik kecil di atas segunung
kegagalan,” papar Bob yang membuat peserta seminar terpana.
Bob
Sadino bahagia dengan apa yang dilakukannya. Ia berani mengambil risiko
dan menciptakan pasar. ’’Saya mengambil risiko sebesar-besarnya, sebab
orang yang mengambil risiko kecil, hasilnya juga kecil. Kalau orang
memperkecil risiko, ia jadi bebas dong. Risiko bisa jadi apa saja.
Kewajiban saya mengubah risiko jadi duit,” ujar Bob Sadino, dengan
santainya.
Meski
awalnya sulit dipahami, peserta seminar yang bingung dan tidak terima
dikatai goblok, lama-lama bisa mencerna jalan pikiran nyeleneh Bob
Sadino. Sebagai pengusaha sukses, ia sudah sampai pada tahap financial
independent, sehingga ia bebas mau beli apa saja dan mau pergi ke mana
saja. ’’Duitnya sih, pas-pasan. Kalau mau beli Jaguar, pas duitnya ada,”
katanya, terkekeh.
Karena
merasa dirinya goblok, Bob tidak berpikir secara runtun, tapi mengalir
begitu saja. Orang goblok juga akan lebih percaya pada orang lain yang
lebih pintar dari dirinya. Kalau gagal, orang goblok tidak merasa gagal,
tapi sedang belajar jadi lebih pintar. Akhirnya, orang goblok bisa jadi
bosnya orang pintar-pintar. Kini, Bob memiliki 1.600 karyawan yang dia
sebut anak-anaknya.
Sementara,
orang pintar menghitung sesuatu nyelimet dan usahanya nggak
jalan-jalan, karena dibebani rencana yang belum tentu berhasil. Orang
pintar juga tidak percaya orang lain sehingga semua dikerjakannya
sendiri. Ia mencontohkan ketika salah seorang karyawannya menurunkan
harga kangkung di supermarketnya dari semula harganya Rp6.000 menjadi
Rp400 saja. Eh, ternyata malah tidak laku.
Selidik
punya selidik, ternyata langganannya protes, kok harga kangkungnya
murah, padahal biasanya mahal. ’’Akhirnya, harga kangkung itu saya
naikkan lagi. Pelanggan saya bilang, kangkung yang saya jual rasanya
lain. Mungkin karena mahal, sehingga setiap sendok kangkung yang masuk
ke mulutnya diam-diam dihitungnya, Rp6.000, jadi dia nikmati. Lha, kalau
begini, siapa sebenarnya yang goblok?” papar Bob terbahak-bahak.
Namun,
bagi pembeli ada nilai psikologis yang membuat pembeli merasa berbeda
jika mengkonsumsi kangkung mahal daripada kangkung murah. Ini bagian
dari trik marketing. Ia pun berbagi tips, bahwa untuk menjadi seorang
marketing yang baik, maka seseorang harus menjual dirinya sendiri (sale
for your self), sebelum menjual produknya. Sebuah filosofi, bahwa
bagaimana seseorang menjadi marketing yang baik, kalau ia sendiri tidak
dikenal orang.
Di
balik kekonyolannya, Bob Sadino memberikan beberapa resep menjadi
pengusaha. Antara lain, berpikir bebas dan tanpa beban. Memiliki tekad
dan keinginan yang kuat menjadi pengusaha, sebab kemauan adalah ibarat
bensin dan motor, keberanian mengambil peluang, tahan banting dan
bersyukur bisa berbuat untuk orang lain.
Bagi
pengusaha Batam, Bob Sadino berpesan, jangan takut dan jangan terlalu
berharap. Sebab, makin tinggi harapan, makin tinggi tingkat kekecewaan.
’’Lepaskan belenggu dalam pikiran Anda sendiri. Ada berjuta peluang di
sekeliling Anda,” katanya.
Dalam
berbisnis, juga jangan terlalu memikirkan sukses. Kalau terlalu banyak
memikirkan sukses, kata Om Bob, bekerja pasti dalam tekanan, tidak
rileks sehingga hasil kerja tidak akan bagus. ’’Santai saja, hilangkan
semua beban, ingat sandaran itu tadi, kemauan, komitmen, keberanian
mengambil peluang, pantang menyerah dan selalu belajar pada yang lebih
pintar serta selalu bersyukur,” ujar Om Bob, mengingatkan.
Satu
hal yang menarik, orang-orang yang ia gunakan dalam membantu usahanya,
bukanlah mereka yang berasal dari kalangan berpendidikan tinggi,
melainkan dari anak jalanan. Berawal dari satu anak jalanan, bertambah
dua, tiga hingga saat ini mencapai 1.500 orang anak. Bob juga mengaku
bukan orang yang berpendidikan tinggi. Ia hanya tamatan SMA. Ia tak
pernah sekolah tinggi. Baginya, di sekolah orang membaca buku, buku
sifatnya informasi yang telah terjadi yang tak ubahnya roti busuk alias
sampah. Jadi, orang yang sekolah tinggi-tinggi, isinya hanya sampah.
Terkecuali sampah itu diolah menjadi pupuk yang subur.
Bob
Sadino juga tidak setuju dengan istilah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang
digembar-gemborkan pemerintah. Apa pasal? ’’Mestinya bukan UKM, tapi
UBB atau Usaha Bakal Besar sehingga kita tetap optimis dan berusaha
membesarkan bisnis kita,” katanya.
Tak
terasa, dua jam berlalu bersama Bob Sadino. Namun, pertanyaan
menggelitik soal penampilannya yang senang bercelana pendek, terlontar
juga dari peserta seminar. Apa jawaban Bob? ’’Tidak penting celana
pendeknya, yang penting, apa di balik celana pendek itu,” ujar Om Bob
yang disambut gelak tawa.
Di
balik sikap nyentrik dan nyeleneh Bob Sadino, ia berhasil membangun
bisnisnya selama puluhan tahun. Dan, ia bisa duduk santai dengan
beberapa presiden sambil ngobrol ngalor ngidul. Yang jelas, peserta
seminar yang umumnya pelaku bisnis merasa mendapat pengalaman dan
pencerahan yang luar biasa.
Sayangnya,
nyaris tidak ada pengusaha kelas kakap yang tertarik bincang bisnis Bob
Sadino yang disponsori Telkomsel itu. Mungkin khawatir dicap goblok.
Jadi, mau pintar atau goblok ala Bob Sadino? Terserah Anda.
Susi Pudjiastuti; Dulu Bakul Ikan, Kini Punya 50 Pesawat Jual Cincin untuk Modal
Keputusannya
keluar dari sekolah saat masih berusia 17 tahun sangat disesalkan dua
orang tuanya. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini Susi
Pudjiastuti memiliki 50 pesawat dan pabrik pengolahan ikan yang
berkualitas untuk melayani kebutuhan ekspor.
ANGIN laut bertiup kencang saat pesawat Cessna yang membawa Jawa Pos
mendekati Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Setelah berputar sekali di
atas perairan biru, pesawat berkapasitas 10 penumpang itu lantas
menukik, kemudian mendarat di bibir pantai yang indah.
Konstruksi landasan yang biasa dipakai take-off dan landing itu terbuat
dari campuran pasir-batu yang dipadatkan. ”Ini bandara private (milik
pribadi). Panjangnya satu kilometer,” ujar wanita paro baya yang
menyambut Jawa Pos dengan ramah.
Namanya
Susi Pudjiastuti, presiden direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di
bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation yang merupakan
operator penerbangan Susi Air. Rambutnya ikal kemerahan, suaranya
serak-serak, namun pembawaannya supel.
Bukan
hanya bahasa Inggris fasih yang keluar dari mulutnya saat berbincang
dengan para pilotnya yang bule. Susi -panggilan akrabnya- juga
menggunakan bahasa Sunda dan sesekali bahasa Jawa kepada
pembantu-pembantunya.
”Saya
suka belajar bahasa apa aja. Yang penting bisa buat marah dan
memerintah. Sebab, dengan itu, saya bisa bekerja,” ujarnya lantas
tertawa.
Saat
ini, wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965, tersebut memiliki
50 unit pesawat berbagai jenis. Di antaranya, Grand Caravan 208B,
Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, dan Diamond DA 42. Kebanyakan pesawat
itu dioperasikan di luar Jawa seperti Papua dan Kalimantan.
”Ada yang disewa. Namun, ada yang dioperasikan sendiri oleh Susi Air.
Biasanya dipakai di daerah-daerah perbatasan oleh pemda atau swasta,”
jelas wanita yang betis kanannya ditato gambar burung phoenix dengan
ekor menjuntai itu.
Susi
tak mematok harga sewa pesawat secara khusus. Sebab, hal itu bergantung
pelayanan yang diminta pihak penyewa. Biaya sewanya pun bermacam-macam,
tapi rata-rata USD 400-USD 500 per jam.
”Kadang
ada yang mau USD 600-USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD
1.000 karena beda-beda level service yang dituntut. Untuk keperluan
terbang, semua peranti disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan
bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,” tegasnya.
Bakat
bisnis Susi terlihat sejak masih belia. Pendirian dan kemauannya yang
keras tergambar jelas saat usia Susi menginjak 17 tahun. Dia memutuskan
keluar dari sekolah ketika kelas II SMA. Tak mau hidup dengan cara
nebeng orang tua, dia mencoba hidup mandiri. Tapi, kenyataan memang tak
semudah yang dibayangkan.
”Cuma bawa ijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi apa saya. Saya nggak mau yang biasa-biasa saja,” ujarnya.
Kerja
keras pun dilakoni saat itu. Mulai berjualan baju, bedcover, hingga
hasil-hasil bumi seperti cengkih. Setiap hari, Susi harus berkeliling
Kota Pangandaran menggunakan sepeda motor untuk memasarkan barang
dagangannya. Hingga, dia menyadari bahwa potensi Pangandaran adalah di
bidang perikanan. ”Mulailah saya pengen jualan ikan karena setiap hari
lihat ratusan nelayan,” tuturnya.
Pada
1983, berbekal Rp 750 ribu hasil menjual perhiasan berupa gelang,
kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak wanita
Pangandaran yang bekerja sebagai bakul ikan. Tiap pagi pada jam-jam
tertentu, dia nimbrung bareng yang lain berkerumun di TPI (tempat
pelelangan ikan). ”Pada hari pertama, saya hanya dapat 1 kilogram ikan,
dibeli sebuah resto kecil kenalan saya,” ungkapnya.
Tak
cukup hanya di Pangandaran, Susi mulai berpikir meluaskan pasarnya
hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta. Dari sekadar menyewa, dia pun
lantas membeli truk dengan sistem pendingin es batu dan membawa
ikan-ikan segarnya ke Jakarta. ”Tiap hari, pukul tiga sore, saya
berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam, lalu balik
lagi ke Pangandaran,” ucapnya mengenang pekerjaan rutinnya yang berat
pada masa lalu.
Meski sukses dalam bisnis, Susi mengaku gagal dalam hal asmara. Wanita
pengagum tokoh Semar dalam dunia pewayangan itu menyatakan sudah tiga
kali menikah. Tapi, biduk yang dia arungi bersama tiga suaminya tak
sebiru dan seindah Pantai Pangandaran. Semua karam.
Dari suaminya yang terakhirlah, Christian von Strombeck, si Wonder Woman
itu mendapat inspirasi untuk mengembangkan bisnis penerbangan. ”Dia
seorang aviation engineer,” lanjutnya.
Christian merupakan seorang ekspatriat yang pernah bekerja di IPTN
(Industri Pesawat Terbang Nusantara, sekarang PT DI). Awal perkenalannya
dengan lelaki asal Prancis itu terjadi karena Christian sering
bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai Pangandaran. Berawal
dari perkenalan singkat, Christian akhirnya melamar Susi. ”Restoran
saya memang ramai. Sehari bisa 70-100 tamu,” katanya.
Dengan
Christian, Susi mulai berangan-angan memiliki sebuah pesawat dengan
tujuan utama mengangkut hasil perikanan ke Jakarta. Satu-satunya jalan,
lanjut dia, adalah membangun landasan di desa-desa nelayan. ”Jadi,
tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa dibawa ke Jakarta. Kan cuma
sejam,” tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.
Berbeda
jika harus memakai jalur darat yang bisa memakan waktu hingga sembilan
jam. Sesampai di Jakarta, banyak ikan yang mati. Padahal, jika mati,
harga jualnya bisa anjlok separo.
”Kami mulai masukin business plan ke perbankan pada 2000, tapi nggak
laku. Diketawain ma orang bank dan dianggap gila. Mau beli pesawat USD 2
juta, bagaimana ikan sama udang bisa bayar, katanya,” ujar Susi.
Baru
pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman USD 4,7 juta
(sekitar Rp 47 miliar) untuk membangun landasan serta membeli dua
pesawat Cessna Grand Caravan. Namun, baru sebulan dipakai, terjadi
bencana tsunami di Aceh. ”Tanggal 27 kami berangkatkan satu pesawat
untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama yang mendarat di Meulabouh.
Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa beras, mi instan, air, dan
tenda-tenda,” ungkapnya.
Awalnya,
Susi berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis selama dua
minggu saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga nonpemerintah
yang memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di Aceh.
”Mereka
mau bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami kerja di sana.
Dari situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi,” jelasnya.
Perkembangan
bisnis sewa pesawat terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp
47 miliar sekarang tinggal 20 persennya. ”Setahun lagi selesai. Tinggal
tiga kali cicilan lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau
ditotal, semua (pinjaman dari perbankan) lebih dari Rp 2 triliun. Return
of investment (balik modal) kalau di penerbangan bisa 10-15 tahun
karena mahal,” katanya.
Susi
tak hanya mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar jaring di
laut. Sekarang, dia merambah bisnis perkebunan. Meski begitu, dia
mengakui ada banyak rintangan yang harus dilalui. ”Perikanan kita sempat
hampir rugi karena tsunami di Pagandaran pada 2005. Kami sempat dua
tahun nggak ada kerja perikanan,” tuturnya.
Untuk
penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung-Pangandaran,
dan Jakarta-Cilacap, Susi menyatakan masih merugi. Sebab, terkadang
hanya ada 3-4 penumpang. Dengan harga tiket rata-rata Rp 500 ribu,
pendapatan itu tidak cukup untuk membeli bahan bakar. ”Sebulan rute Jawa
bisa rugi Rp 300 juta-Rp 400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar
Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk angkut perikanan kami,” ujarnya.
Susi memang harus mengutamakan para pembeli ikannya karena mereka sangat
sensitif terhadap kesegaran ikan. Sekali angkut dalam satu pesawat, dia
bisa memasukkan 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari
Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta. ”Bisnis ikan serta
lobster tetap jalan dan bisnis penerbangan akan terus kami kembangkan.
Tahun depan kami harap sudah bisa memiliki 60 pesawat,” katanya penuh
optimisme.
Rahasia sukses Susi ternyata sederhana, yakni ”Just be your self! I am
just like the way I am. Sometime dropp, sometime funny. If I want to
cry, I’ll cry. If I don’t like something, I’ll screaming. I’ll expressed
the way I wanted,” ucapnya tegas sembari menekankan ketekunan adalah
harga mati menuju keberhasilan.
Kisah Nyata Seorang OB (Office Boy) Menjadi Vice President CitiBank
Sungguh
sebuah karunia yang luar biasa bagi saya bisa bertemu dengan seorang
yang memiliki pribadi dan kisah menakjubkan. Dialah Houtman Zainal
Arifin, seorang pedagang asongan, anak jalanan, Office Boy yang kemudian
menjadi Vice President Citibank di Indonesia. Sebuah jabatan Nomor 1 di
Indonesia karena Presiden Direktur Citibank sendiri berada di USA.
Tepatnya 10 Juni
2010, saya berkesempatan bertemu pak Houtman. Kala itu saya sedang
mengikuti training leadership yang diadakan oleh kantor saya, Bank
Syariah Mandiri di Hotel Treva International, Jakarta. Selama satu
minggu saya memperoleh pelatihan yang luar biasa mencerahkan, salah satu
nya saya peroleh dari Pak Houtman. Berikut kisah inspirasinya:
Sekitar
tahun 60an Houtman memulai karirnya sebagai perantau, berangkat dari
desa ke jalanan Ibukota. Merantau dari kampung dengan penuh impian dan
harapan, Houtman remaja berangkat ke Jakarta. Di Jakarta ternyata
Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat
keras dan tidak mudah. Tidak ada pilihan bagi seorang lulusan SMA di
Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Houtman pun memilih bertahan
hidup dengan profesi sebagai pedagang asongan, dari jalan raya ke kolong
jembatan kemudian ke lampu merah menjajakan dagangannya.
Tetapi
kondisi seperti ini tidak membuat Houtman kehilangan cita-cita dan
impian. Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia
memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan
Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan
berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan
berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak.
Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi langit,
sebuah cita-cita dan tekad diazamkan dalam hatinya.
Azam
atau tekad yang kuat dari Houtman telah membuatnya ingin segera merubah
nasib. Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera memulai mengirimkan
lamaran kerja ke setiap gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada
gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya
sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang
diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran
kerja.
Sampai
suatu saat Houtman mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang
sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank
(citibank), sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja
sebagai seorang Office Boy. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah
dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan
kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.
Tapi
Houtman tetap bangga dengan jabatannya, dia tidak menampik pekerjaan.
Diterimanyalah jabatan tersebut dengan sebuah cita-cita yang tinggi.
Houtman percaya bahwa nasib akan berubah sehingga tanpa disadarinya
Houtman telah membuka pintu masa depan menjadi orang yang berbeda.
Sebagai
Office Boy Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan
baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas
sore saat seluruh pekerjaan telah usai Houtman berusaha menambah
pengetahuan dengan bertanya tanya kepada para pegawai. Dia bertanya
mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat
bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan
dahinya. Mungkin dalam benak pegawai ”ngapain nih OB nanya-nanya istilah
bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi
sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit,
Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll.
Suatu
saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi
dokumen (saat ini dikenal dengan mesin photo copy). Ketika itu mesin
foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan perusahaan tertentu lah
yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk
mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman
sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi
untuk mengajarinya. Houtman pun akhirnya mahir mengoperasikan mesin foto
kopi, dan tanpa di sadarinya pintu pertama masa depan terbuka. Pada
suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya
Houtman yang bisa menggantikannya, sejak itu pula Houtman resmi naik
jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi.
Menjadi
tukang foto kopi merupakan sebuah prestasi bagi Houtman, tetapi Houtman
tidak cepat berpuas diri. Disela-sela kesibukannya Houtman terus
menambah pengetahuan dan minat akan bidang lain. Houtman tertegun
melihat salah seorang staf memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya.
Houtman pun menawarkan bantuan kepada staf tersebut hingga membuat sang
staf tertegun. “bener nih lo mo mau bantuin gua” begitu Houtman
mengenang ucapan sang staff dulu. “iya bener saya mau bantu, sekalian
nambah ilmu” begitu Houtman menjawab. “Tapi hati-hati ya ngga boleh
salah, kalau salah tanggungjawab lo, bisa dipecat lo”, sang staff
mewanti-wanti dengan keras. Akhirnya Houtman diberi setumpuk dokumen,
tugas dia adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen
lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam
kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman
membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut
karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut
Houtman tidak sekedar mencap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen
yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai
istilah dan teknis perbankan. Kelak pengetahuannya ini membawa Houtman
kepada jabatan yang tidak pernah diduganya.
Houtman
cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu
mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk
membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun
tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di
Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan
kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA.
Peristiwa
pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa
heboh dan kontroversial. Bagaimana bisa seorang OB menjadi staff, bahkan
rekan sesama OB mencibir Houtman sebagai orang yang tidak konsisten.
Houtman dianggap tidak konsisten dengan tugasnya, “jika masuk OB, ya
pensiun harus OB juga” begitu rekan sesama OB menggugat.
Houtman
tidak patah semangat, dicibir teman-teman bahkan rekan sesama staf pun
tidak membuat goyah. Houtman terus mengasah keterampilan dan berbagi
membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan
oleh Houtman, karena materi tidak ia miliki. Houtman tidak pernah lama
dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus
akan ilmu baru. Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru.
Sehingga karir Houtman melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB
bahkan staff yang mengajarinya tentang istilah bank.
19
tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First
National City Bank, Houtman mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice
President. Sebuah jabatan puncak citibank di Indonesia. Jabatan
tertinggi citibank sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang
tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia.
Sampai
dengan saat ini belum ada yang mampu memecahkan rekor Houtman masuk
sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA.
Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya,
menjadi staf ahli citibank asia pasifik, menjadi penasehat keuangan
salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi
inspirator bagi banyak orang .
(Kisah Nyata Houtman Zainal Arifin, disampaikan dalam training Leadership bank Syariah Mandiri)